Tags

, ,

Jangan heran apabila anda melihat di setiap sudut kota Jogjakarta terlihat karya seni dari anak bangsa.

Hal inilah yang membedakan Jogjakarta dengan kota-kota besar lain di Indonesia, denyut seni yang begitu keras sehingga membuat tidak ada hari yang kosong tanpa pameran seni rupa. Para seniman tak pernah kehabisan ide untuk menggunakan berbagai tempat sebagai “galeri“. Warga biasa selain seniman pun bisa turut berkarya di ruang-ruang publik asalkan “aman”. Situasi demikian bisa diibaratkan dalam sebuah idiom jawa, gugur gunung, yaitu gotong royong, kebersamaan, masih kental dalam proses sosial berkesenian di Jogjakarta. Dinamika ini bisa juga dilukiskan sebagai jam session dimana masing-masing seniman bisa saling berdialog, berbagi, serta menciptakan kreasi dalam keharmonisasian.

Image Hosted by ImageShack.us

Biennale Jogjakarta X-2009 bertajuk “Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa” yang merupakan sebuah refleksi dari dinamika dua tujuan. Refleksi ini dituangkan dalam dua praktek, yaitu penafsiran seniman terhadap semangat zaman dan pameran arsip. Dalam konteks ini, pemaknaan terhadap arsip bukanlah sekedar benda mati, tetapi juga ingatan yang hidup di masa kini.

India Instrumental Music
Image Hosted by ImageShack.us

Jogja punya cerita
Image Hosted by ImageShack.us

Berbagi cerita berbagi budaya
Image Hosted by ImageShack.us

Hal ini direalisasikan oleh 126 seniman yang menggelar karya-karya menarik yang ada di Taman Budaya Jogjakarta, Sangkring Art Space, Jogja National Museum. Sementara pameran arsip digelar di Gedung Bank Indonesia. Lalu ditambah lagi lebih dari 200 perupa dan warga kota melebur bersama merespon karya dan apresiasinya di sudut-sudut kota. Menurut saya biennale bukan sekedar memamerkan sebuah karya seni rupa saja, tetapi sebagai ruang jalannya sebuah kultur.

Terima kasih
Agung Perdana T.S