Tags

“Mandailing adalah Batak, alasan mereka tidak mau disebut Batak tidak lain salah satu sebabnya adalah karena Batak pada umumnya didominasi oleh pengaruh Kristiani (agama Kristen) sehingga Mandailing yang mayoritas Islam menolak untuk disamakan menjadi Batak.”

Oleh :  Ibnu Avena Matondang

Pendahuluan

SUKU dapat dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap pada suatu wilayah serta dibatasi oleh batas-batas geografis, pendapat ini mungkin memiliki kebenaran pada satu sisi namun pada sisi lainnya pendapat ini memiliki kekurangan dalam mendeskripsikan apa sesungguhnya suku. Berbagai konsep mengenai suku memiliki berbagai macam pandangan, pada tulisan ini konsep mengenai suku merupakan hasil intisari dari berbagai pengamatan dan penelitian terhadap bentuk suku tersebut, konsep tersebut adalah representasi dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh berbagai individu dalam masyarakat.

Fokus dalam telaah ini adalah mencari kebenaran yang hakiki, akan tetapi sebagai seorang manusia tentunya kebenaran hakiki hanya didapat sebatas pengetahuan seorang manusia atau dengan kata lain kebenaran hakiki yang diyakini oleh seseorang tidak otomatis menjadi kebenaran bagi diri individu lain. Berbagai bukti kebenaran coba diungkapkan dalam tulisan ini dengan harapan semua pihak dapat melihat, menerima dan mengkritik sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Dalam tulisan sebelumnya, juga telah dicoba untuk menjelaskan apa sebenarnya yang menjadi problema sehingga masyarakat Mandailing (sebahagian golongan) tidak menerima apabila dikatakan sebagai orang Batak, adakah hal lain yang melatar belakanginya atau ada hal yang tersembunyi dari pencarian ilmu pengetahuan.

Batak, sebagai suatu suku atau konsep penjajah

BATAK dalam persepsi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai suku yang mendiami wilayah geografis Sumatera Utara, namun pendapat lainnya mengatakan bahwa Batak tidak terbatas pada wilayah geografis Sumatera Utara saja melainkan diluar cakupan tersebut juga termasuk sebagai bagian Batak dengan syarat mutlak memiliki garis keturunan Batak (Patriarkat).

Dalam antropologi, konsep mengenai suku, terjelaskan dalam konsep “Culture Area” yang menggambarkan garis merah antara suku dan hubungannya dengan daerah dalam artian geografis, hal ini menjadi dasar pemikiran dalam melihat suku sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap didaerah tersebut maupun bagian dari kesatuan komunal tersebut yang mendiami daerah lain.

Batak sebagai suku dalam berbagai tulisan telah coba dijelaskan dari berbagai perspektif namun Mandailing dalam perspektif Batak mungkin hanya segelintir yang membahas hal ini, dikarenakan kompleksnya masalah ini dan berbagai alasan lainnya. Batak dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang mencakup seluruh bagian suku yang mendiami wilayah Sumatera Utara (diluar Melayu).

Batak sebagai bentuk suku memiliki sub-suku, yaitu : Karo, Pak-pak, Mandailing, Toba, Simalungun, Angkola Sipirok, ke-enam sub suku Batak ini mendiami wilayah Sumatera Utara, persebaran juga memiliki peranan dalam proses pembentukan konsep mengenai suku sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Ke-enam sub suku Batak, yaitu : Karo, Pak-pak, Mandailing, Simalungun, Toba, Angkola Sipirok, adalah komponen utama yang menyusun struktur suku di Sumatera Utara. Dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah keberadaan suku Mandailing dalam perspektif Batak, mengapa hal ini menjadi penting ? karena hal ini dapat menjawab berbagai pertanyaan yang muncul seiring dengan terbangunnya pandangan bahwa Mandailing bukan Batak.

Berbagai ahli dan individu yang memiliki perhatian mendalam mengenai Mandailing bagian Batak telah mencoba untuk menjelaskan hal tersebut, berbagai usaha tersebut patut diacungi jempol sebagai suatu usaha yang mencoba mengungkapan kebenaran yang sebenarnya. Tulisan ini bukan menjadi suatu kerikil yang menusuk bagi masyarakat Mandailing namun sebagai pembuka wawasan bagi masyarakat Mandailing, seperti apakah identitas asli mereka.

Kurang lebih 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, hal ini menjadikan Indonesia sebagai daerah jajahan dimana sebagian masyarakat Indonesia diperkerjakan di tanah airnya sendiri sebagai seorang budak. Usaha-usaha yang dilakukan oleh penjajah tersebut mencakup bagaimana menguasai setiap individu dengan jalan menguasai suku mereka, karena suku bagian masyarakat Indonesia adalah kesatuan komunal yang keberadaannya memiliki peran penting dalam struktur masyarakat.

Untuk menguasai daerah jajahan terlebih dahulu penjajah tersebut harus mengetahui struktur masyarakat tersebut agar proses penjajahan dapat berjalan dengan baik, salah satu cara tersebut adalah dengan menggunakan konsep “devide et impera”, dalam bahasa Indonesia hal tersebut dikenal dengan konsep pemecah persatuan, dengan pecahnya persatuan diantara masyarakat menjadikan masyarakat tersebut dapat dikuasai oleh penjajah.

Berdasarkan penjelasan historis tersebut munculnya pendapat yang mengatakan bahwa penjajah menyamaratakan semua suku di Sumatera Utara dengan sebutan Batak (kecuali Melayu), pendapat ini tentu tidak berdasar dan menyesatkan, karena penjajah dengan konsep “devide et impera” tidak mungkin berbaik hati melakukan usaha persatuan dengan mengatasnamakan Batak sebagai kesatuan suku di Sumatera Utara, pada kenyataannya adalah Batak sebagai kesatuan suku dipecah oleh penjajah dalam beberapa sub-suku yang merepresentasikan wilayah geografis suku tersebut.

Berbagai pernyataan mengenai konsep pemecahan Batak pada berbagai sub-suku terangkum dalam pernyataan berikut ini, dengan inti pernyataan bahwa yang muncul adalah pemecahan Batak dalam sub-suku berdasarkan wilayah geografis, yaitu :

Amin Nasution, 75 tahun : “Sebenarnya pada masa penjajahan Belanda, setiap suku itu dipecah dalam beberapa bagian berdasarkan daerahnya, dengan maksud biar mudah menguasainya.”

Marasudin Lubis, 82 tahun : “Pada zaman itu semua marga dihapus biar penjajah tidak mengetahui suku kita,itu dibuat biar persatuan diantara suku Batak hilang.”

Ummu Salmah Harahap, 85 tahun : “Saya bangga jadi orang Batak, karena semua suku di Sumatera Timur (Sumatera Utara) kan juga orang Batak, walaupun orang itu mau Karo, Toba, Mandailing.”

Dari pernyataan yang diungkapkan informan tersebut dapat ditarik suatu benang merah bahwa mereka mengakui pada zaman tersebut penjajah berusaha memecah Batak sebagai suatu suku dalam beberapa sub-suku dengan tujuan agar memudahkan proses penjajahan.

Sehingga dalam hal ini Batak merupakan representasi seluruh suku (Karo, Pak-pak, Mandailing, Simalungun, Angkola), dan hal tersebut memang diakui para informan bahwa mereka bangga apabila disebut sebagai orang Batak, walaupun dalam kesehariannya mereka adalah anggota masyarakat Mandailing.

Pada bagian ini pernyataan sebahagian kalangan yang menganggap bahwa Mandailing bukan Batak didasari oleh pengetahuan mereka yang kurang mengenai apa sebenarnya yang telah terjadi ataupun disebabkan mereka telah terkungkung rasa primordialis, akan tetapi bukan bermaksud menyudutkan mereka karena pengetahuan adalah hal yang dinamis sehingga pendapat mereka kemungkinan disebabkan tidak menyadari bentuk dinamis tersebut, kalangan yang menganggap bahwa Mandailing bukan Batak telah berpatok pada pemahaman yang salah yang ditanamkan sedari awal pada diri mereka.

Dalam fase ini setidaknya terjelaskan bahwa Batak adalah suku yang mendiami wilayah Sumatera Utara, Batak bukanlah konsep yang dipakai oleh penjajah untuk menguasai Sumatera Utara.

Mandailing, Batak atau tersendiri

PERNYATAAN yang menyatakan bahwa “Mandailing adalah Batak” ataupun “Orang Mandailing adalah Orang Batak”, telah mendapat kecaman dari berbagai pihak yang mengaku sebagai masyarakat Mandailing, tentu saja hal ini tidak dapat diterima begitu saja mengingat komposisi masyarakat Mandailing tidak hanya diisi oleh segelintir orang saja melainkan setiap individu yang lahir dengan garis keturunan Mandailing dan bertempat tinggal dimana saja, hal-hal yang terkait dengan penyebutan “Batak Mandailing” telah berulang kali dipergunakan oleh anggota masyarakat Mandailing itu sendiri, baik dalam bentuk percakapan sehari-hari, buku, dan lain sebagainya. Salah satu diantara penyebutan tersebut adalah : Ir. L.P. Hasibuan bergelar Patuan Daulat Baginda Nalobi dalam bukunya Pangupa, buku nenek moyang masyarakat Tapanuli Selatan berisi falsafah Hidup,

Sekali lagi ditegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk menyudutkan pihak tertentu melainkan untuk membuka cakrawala sebenarnya yang selama ini ditutup karena sebab yang tidak jelas dan tidak mau dijelaskan, pendapat mereka yang menolak Mandailing sama dengan Batak adalah wujud saling terima pendapat dengan konsekuensi menerima pendapat yang lain apabila pendapat tersebut memang benar adanya.

Mengapa tulisan mengenai hal ini terus saja dipublikasi, hal ini karena dalam kenyataannya ada beberapa pihak yang mencoba menggeser garis sejarah sebenarnya dengan tujuan tersentu maupun hanya ikut pada pendapat yang dominan. Informan yang memiliki latar belakang keturunan Mandailing yang bertempat tinggal dimana saja, dicoba untuk memberikan tanggapan mereka terhadap pernyataan “Mandailing = Batak”.

Ada satu rangkaian pernyataan yang menyatakan bahwa sebenarnya “Mandailing = Batak”, adapun pernyataan tersebut telah diungkapkan oleh informan, yaitu :

Chairul Azhar Matondang, 50 tahun : “Mandailing adalah Batak, alasan mereka tidak mau disebut Batak tidak lain salah satu sebabnya adalah karena Batak pada umumnya didominasi oleh pengaruh Kristiani (agama Kristen) sehingga Mandailing yang mayoritas Islam menolak untuk disamakan menjadi Batak.”

(Bersambung)

——————————————————————-

Sumber : http://avena-matondang.blogspot.com/